Di pekan ketiga bulan Desember ini, aku sudah resah saja rasanya menjelang libur akhir tahun. Antara terlalu lelah dengan kesibukan yang seakan tak pernah ada habisnya, dan jatah cuti yang masih tersisa 8 hari. Ya, D E L A P A N! Kok bisa, total cuti kan cuma 12 hari setahun, kenapa sebanyak itu yang belum terpakai? Setelah dirunut ke belakang, sepanjang tahun ini memang aku tak banyak melakukan perjalanan murni liburan kecuali saat mengikuti open trip ke Dieng Culture Festival yang cuma memakan satu jatah cutiku. Ke Jogja, Bali, dan Lombok adalah perjalanan akademik yang tidak memotong cuti tahunan, tapi menggunakan surat dinas luar kota. Mulai dari presentasi hasil penelitian di forum konferensi ilmiah berskala internasional, hingga keperluan mengumpulkan data penelitian yang meraih hibah nasional dari Kemenristek Dikti.
Pada hari-hari minggu kedua terakhir di tahun 2019 itulah aku mulai mencari-cari rekomendasi destinasi liburan yang bisa kujangkau secara budget, waktu, dan energi. Mulai dari browsing via Instagram, hingga menghubungi nomor what’s app yang tertera di akun IG mereka. Awalnya aku bertanya soal perjalanan ke Ranu Kumbolo ke beberapa nomor WA, karena memang Rakum adalah salah satu whist list-ku sejak lama. Namun ternyata mereka menjawab senada, bahwa daya tarik wisata tersebut kini sedang dalam masa reboisasi, jadi ditutup untuk umum, kemungkinan baru akan dibuka lagi April tahun depan. Lalu kulupakanlah rencana liburan sebelum mudik akhir tahun. Mungkin aku akan menghabiskan libur natal dan tahun baru di kampung halaman saja.
Tak disangka, tetiba salah satu nomor WA open trip Surabaya yang kemarin-kemarin sempat kuhubungi, mengirim pesan: “kalau ke Bromo pernah Kak?” | “pernah” jawabku | “Ijen pernah?” | “belum” sambil terpikir bahwa dulu aku sempat ingin pergi ke Ijen | “Mau?” | Setelah berdikusi soal tanggal dan biaya, kemudian mencocokkannya dengan jadwal keberangkatan moda transportasi umum yang akan kupakai, kuputuskanlah merambah Ijen. Jadi bisa dibilang perjalanan soloku ke Ijen ini terlaksana akibat ketidaksengajaan.

Aku memesan tiket kereta bisnis tujuan Stasiun Surabaya Pasar Turi sesuai titik penjemputan pihak tur, dengan keberangkatan Senin, 23 Desember 2019 jam 15.45 WIB. Sepekan sebelum berangkat, kesibukan memuncak, mulai dari mengoreksi berkas Ujian Akhir Semester, sampai meng-input nilai mata kuliah yang diujikan tersebut untuk empat kelas yang masing-masing kelasnya itu berjumlah sekitar 45 mahasiswa/i, belum lagi empat jenis tugas lain yang juga harus di-submit. Itu baru satu perkara. Masalah lainnya adalah ada dua jenis proposal penelitian hibah eksternal yang kutulis dengan tenggat waktu 22 Desember 2019. Alhasil, menuju libur panjang rasanya aku sampai jungkir balik demi beresnya semua urusan pekerjaan. Tapi bagus juga pikirku, terlebih sudah dua minggu absen cardio dan body combat padahal harusnya rajin olah raga biar tubuh terasa ringan diajak muncak Ijen. Jangankan punya waktu buat latihan, yang ada malah beberapa malam terakhir aku pulang larut terus supaya bisa tenteram berlibur.
Libur Tutup Tahun 2019
Di hari H keberangkatan, aku sempatkan diri ngampus terlebih dulu untuk merapikan banyak hal sebelum kutinggal pergi cukup lama. Mengambil beberapa data yang bisa kuolah selama liburan di kampung halaman, serta memastikan semuanya sudah terorganisir dengan baik. Saking fokusnya mengurus ini itu, sampai-sampai kutolak ajakan kolega untuk makan siang di luar dan memilih makan sendirian di meja kerja. Sekitar jam 14.30 WIB aku mulai memesan ojek online. Setelah berpamitan dengan beberapa orang yang kujumpai di kantor, melajulah aku bersama mamang ojol ke Stasiun Gambir. Keputusanku mengambil ojek motor tepat ternyata, karena di perempatan Senen macetnya bukan main, ada proyek pembangunan under pass baru. Tiba di Stasiun Gambir tak langsung menuju mesin pencetak tiket, masih banyak waktu pikirku. Suasana stasiun cukup ramai, tapi tidak seramai menjelang libur lebaran. Jadilah aku melipir ke Es Teler 77 kesayangan untuk sejenak melepas dahaga yang ditimbulkan oleh panasnya jalanan. Kunikmati betul setiap bulir esnya, manis! Susu kental putih yang kusuka, alpukat yang lembut di mulut, potongan nangka yang memanjakan gigi, dan sayatan kelapa muda di lidah.
Sekitar 20 menit sebelum keretaku berangkat, barulah aku beranjak hendak mencetak tiket. Tidak antri, karena memang mesinnya cukup banyak. Kuketikkan kode booking, tidak muncul. Kucoba lagi, tetap gagal. Sampai-sampai ada seorang Bapak-bapak petugas menghampiri dan mencoba membantu, tetap tak bisa. Lalu dia menyarankan aku menuju ke desk customer service yang terletak beberapa langkah saja jauhnya. Kuserahkan kertas booking tiketku sambil mulai merasa ada yang salah, karena tidak pernah begini sebelumnya. Setelah kode booking-ku di-input oleh sang CS, yang juga tidak bisa, kemudian dicermatinya kode tersebut. Lalu dengan muka pucat dia berkata: “Mbak, ini kodenya PSE, dari Pasar Senen” DANGGG!!!
Kulangsung semaput, lari terbirit-birit menuju pintu keluar Stasiun Gambir sambil merogoh iPhone dan segera memesan ojol ke stasiun Pasar Senen. Cuma 15 menit tersisa! Ya salam, di aplikasi tertera 9 menit pula si supir ojol sampai ke titikku. Sambil sibuk chat si driver, mau nangis rasanya! Tapi ternyata Abang ojol sudah di depanku sambil melambaikan tangan: “Kak Nania…” Duh, bisa-bisanya durasi tunggu aplikasi nggak sesuai fakta, kulangsung lompat ke jok belakang sambil mengumpat: “kita cuma punya 10 menit Bang”. Si Abang langsung tancap gas dengan gesture tubuh yang santai bagai di pantai, sementara aku tegang bukan main, sambil tak berhenti memaki diri dalam hati. Sungguh tak lucu kalau sampai aku batal ke Ijen cuma gegara kecerobohanku sendiri. Tidak teliti melihat stasiun keberangkatan hanya bermodal anggapan: “kereta bisnis pasti berangkat dari Gambir. Senen khusus ekonomi”.
Setiba di Stasiun Pasar Senen, kulangsung lari morat marit menuju mesin pencetak tiket. Sembari ngos-ngosan di depan mesin, kuketikkan kode booking dengan terburu-buru. TIDAK BISA! Apalagi ini?! Kuketik ulang. KODE HARUS 7 DIGIT. Kuhitung jumlah angka dan huruf di kodeku. Ya ampun, kan memang sudah benar total 7 digit! Lalu seorang petugas sigap menghampiri “Angka 7-nya rusak Mbak, coba lagi pelan-pelan” YA KALI ANGKA 7 PAKE RUSAK SEGALA!!! “tenang Mbak, masih 6 menit lagi keretanya nunggu” Lalu kucoba lagi, BISAAA!!! Suara Mbak-mbak petugas kereta nan merdu sudah meraung-raung menyebut-nyebut keretaku akan berangkat sesaat lagi. Penderitaan belum berakhir, aku masih salah masuk pintu nama kereta yang akan berangkat! Untungnya jarak antara pintu keberangkatan keretaku hanya di sebelah pintu keberangkatan kereta yang keliru kumasuki! HAHAHA masih beruntung saja.
Akhirnya, kubisa duduk tenang di kursi pilihanku sendiri. Dalam perjalanan kereta selama kurang lebih 12 jam, aku lelap tertidur, makan dengan tenang sambil menikmati riak hujan yang menerpa kaca jendela keretaku, membaca dua buku yang sengaja kubekal dari rumah, dan menarik beberapa pelajaran, bahwa Stasiun Pasar Senen juga melayani kereta bisnis, bahkan eksekutif, tidak hanya ekonomi. Selain itu, segala keteledoranku sepertinya merupakan sinyal, bahwa aku memang butuh liburan ;p
Sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi tepat jam 02.56 WIB. Aku langsung jalan menuju Hotel Intan yang berjarak 500 meter dari stasiun. Hotel ini kutemukan di aplikasi Traveloka, aku memesan dengan skema late check in dan late check out. Lumayan bisa merebahkan badan setelah seharian ke sana ke mari dan separuh hari duduk tegak di kursi kereta bisnis. Sekitar delapan jam aku tidur pulas dan bangun di tengah hari karena panggilan alam. Kemudian aku beranjak ke luar hotel mencari makan siang. Ada beberapa tenda makan yang buka berderet di depan kios-kios Pasar Turi. Banyak macamnya, mulai dari masakan Padang sampai pecel lele. Aku memesan pecel lele beserta sambal dan lalapannya, tahu + tempe penyet, terong goreng, minum es teh manis. Setelah selesai makan aku bertanya kepada Ibu penjualnya: “Ibu ngomong bahasa apa, Bu?” Si Ibu tertawa bersama suami dan anaknya, “bahasa Madura Mbak, memangnya Mbak dari mana?” | “saya dari Jakarta, biasanya orang Madura di Jakarta jualan sate, di sini jualnya pecel lele ya ternyata” mereka tertawa lagi “di Surabaya ini orang Madura jual semuanya Mbak, ada pecel lele, sate, rujak cingur, banyak macamnya, kalau di Bandung lain lagi, mereka jualnya tahu kupat” | “Kupat tahu, Bu” | “oh iya ya, hahaha…”
Merengkuh Ijen
Jam 16.30 WIB aku sudah bergeser ke Stasiun Surabaya Pasar Turi lagi untuk dijemput oleh pihak tur. Sekitar 15 menit kemudian, tour leader kami menelpon via WA, lalu bertemulah aku dengan mobil elf yang akan mengantarku dan empat orang anak muda lain yang sudah duduk di dalamnya. Posisi dudukku cukup enak, dekat pintu dan bisa selonjor kaki. Sebelum menuju Banyuwangi, kami masih harus menjemput 10 orang peserta tur lagi di satu titik penjemputan yang sudah ditentukan. Perjalanan memakan waktu sekitar enam jam. Tengah malam 24 Desember 2019 kami tiba di kaki Gunung Ijen. Mengapa namanya Ijen? Tanyaku terjawab oleh tour leader kami: “Ijen itu artinya satu, Mbak” | “Kenapa satu?” | “karena sepulau Jawa cuma ada satu yang kayak gini”.
Rintik gerimis menyambut kami di kaki Ijen. Wah, bagaimana kalau hujan ya? Aku sudah membayangkan muncak gunung sambil mengenakan jas hujan, seru juga kayaknya. Tapi ternyata khayalanku tidak terbukti. Jika hujan turun, jalur pendakian malah ditutup sama sekali! Tidak ada yang boleh naik karena medannya berpasir, juga tidak ada tempat berteduh. Waduh! bagaimana pula ini, sudah jauh-jauh datang dari ibukota kalau sampai batal muncak gegara hujan, sedihnya.
Kami bersiap di sebuah warung yang juga menyediakan toilet umum. Di depannya sudah tersedia api untuk sedikit menghangatkan badan. Barang bawaan disimpan di mobil elf yang terparkir. Untuk muncak, aku cukup membawa senter, masker, kamera, air minum, permen, dan jaket tambahan dalam ransel. Pak Supir tidak ikut muncak, dia akan menunggu di mobil sambil tidur. Padahal katanya dia belum pernah tahu Kawah Ijen itu seperti apa meski sudah berkali-kali datang ke sini untuk mengantar orang. Aku heran dengannya, apa dia tidak penasaran. Belakangan aku tahu bahwa itu adalah bentuk tanggung jawabnya terhadap pekerjaan. Selama di perjalanan pulang, kami semua tertidur, sementara supir harus tetap siaga dan sigap mengendarai mobil dengan baik. Luar biasa dedikasi Pak Supir kami ini.
Tak lama, rintik gerimis yang tak seberapa itu pun reda. Udara jadi tak terlalu dingin menusuk. Sesaat sebelum mulai menanjak, kami berkumpul dan tour leader menyampaikan bahwa kita akan menempuh jarak sekitar 3,1 km terus naik. Lalu sesampainya di puncak, akan ada 800 meter lagi ke bawah menuju kawahnya. Dia berpesan untuk berhati-hati, tidak memaksakan diri jika tak kuat, sering istirahat berhenti juga tak mengapa, dia akan ada di barisan rombongan kami yang paling terakhir: “tujuan kita ke sini untuk kembali pulang dengan selamat, bukan sekadar melihat blue fire” bijaksana sekali Anda, Mas Tour Leader!
Pada beberapa langkah mulai menanjak, kami ber-15 masih bersama. Lalu sekitar 10 menit berjalan sudah mulai terpisah, aku pun tak tahu apa aku yang terlalu lamban atau terlalu cepat. Banyak juga rombongan lain yang ikut naik, jadi tidak bisa dengan jelas untuk terus bersama-sama rombongan awal. Tua, muda, dewasa, anak kecil, semua kalangan usia berlomba menaklukkan Ijen. Saat menanjak, aku malah kegerahan, jaket gunungku kuikatkan di pinggang. Jadi jangankan sempat memakai jaket tambahan, jaket yang melekat di badan pun kulepas.
Di sepanjang jalan banyak gerobak pengangkut manusia ditawarkan kepada mereka yang tidak kuat menanjak dengan kakinya sendiri. Baik yang terparkir, maupun yang berjalan dengan tarif Rp. 250.000,- per orang. Gerobak itu akan ditarik oleh satu atau dua orang dengan leher atau pundak mereka, lalu didorong oleh satu atau dua orang lainnya. Mereka menyebutnya taksi atau ojek. Sudah semodern hari ini, tenaga manusia masih digunakan untuk mengangkut manusia, sungguh primitif. Tour leader kami menjelaskan bahwa pemda setempat membatasi taksi atau ojek gerobak pengangkut manusia ini cukup 40 unit saja, tapi nyatanya dalam sehari bisa 200-an unit lebih yang beroperasi.

Tour leader kami juga berpesan bahwa jalur menuju puncak Ijen cuma satu, jadi kita tak akan tersasar. Maka ketika kutahu aku terpisah dari rombongan, kulanjutkan saja terus berjalan. Jalanan berpasir pekat ini cukup membantu pendakian, masuknya musim penghujan membuat pasir tidak licin dan berdebu saat dilalui. Namun aku tetap menyiapkan diri dengan sepatu khusus trekking yang tampilannya sudah tak lagi cantik, tapi masih sangat bisa diandalkan, sudah ke tiga gunung dia membersamaiku.

Jam 03.00 WIB, aku sudah sampai di puncak Gunung Ijen. Di sana aku melihat banyak keranjang dari anyaman bambu bertebaran. Kelak aku tahu bahwa itu adalah bakul penambang belerang yang digunakan untuk mengangkut maksimal 8 kg belerang dari dasar kawah ke puncak gunung. Para penambang itu kuat mengangkut belerang paling banyak tiga kali bolak balik. Yang membuat miris adalah, selain medannya terjal, bawa badan sendiri saja perlu perjuangan, ini menopang belerang seberat itu di bahu dengan upah Rp. 1.200,- per kilo gram!

Di puncak juga banyak bapak-bapak penjaja sewa masker khusus gas menawariku. Satu di antaranya menghampiriku. Dia bilang, kalau mau ke bawah, wajib pakai masker ini, sambil menunjuk peraturan yang terpampang di plang. Aku tak minat membaca papan pengumuman itu karena juah dan gelap, tanpa bertanya lagi langsung saja kusewa satu masker karena memang aku ingin turun ke kawahnya. Tanggung pikirku, sudah sampai sini. Bapak penjaja masker juga mengingatkan bahwa masih sekitar 800 meter lagi untuk sampai ke dasar kawah, medannya curam. Namun kutetap pada pendirian awal.

Benar saja, jalur turun ke kawah lebih terjal dibandingkan saat naik ke puncak. Semua orang melalui bebatuan besar-kecil berpasir untuk melihat blue fire yang fenomenal. Konon blue fire ini cuma ada dua di dunia, yaitu di Islandia dan di Kawah Ijen ini. Itu pun tak selalu bisa muncul setiap saat. Blue fire adalah gas yang keluar dari gunung belerang bercampur oksigen sehingga berbentuk laksana lidah api berwarna biru. Sekira jam 04.00 WIB aku tiba di dasar kawah, sempat menyaksikan blue fire yang menakjubkan, namun sayang, yang tertangkap kamera tak seberapa, entah karena tanganku yang gemetar saking kagumnya, atau udara yang mulai terasa menusuk dinginnya. Alhasil gambar yang kuambil selalu goyang. Tapi secara langsung, aku cukup puas menyaksikan fenomena alam yang termasyhur itu. Salah satu whist list-ku tunai sudah!

Ijen nan Agung
Waktu masih menunjukkan jam 04.30 WIB, tapi sudah terang sekali, jadi aku bisa dengan jelas melihat Kawah Ijen yang berwarna hijau tosca. Di atasnya asap belerang cukup pekat, sehingga seolah aku melihat kawanan awan menyelimuti hamparan hijau nan mamukau. Aku sibuk melihat sekeliling, menyesap udara bercampur belerang dengan bantuan masker gas dan tak lupa mengambil gambar, juga beberapa video singkat. Sempat juga kutangkap momen sekelebat tatkala udara berubah warna menjadi jingga, seperti semesta tetiba senja. Sungguh magis!

Tak terasa, waktu jualah yang memisahkan kemasyhukan ini. Aku teringat pesan tour leader kami untuk segera turun gunung pada jam 6 tepat. Maka pada 05.30 aku sudah harus naik lagi ke puncak supaya bisa turun tepat waktu. Tak rela rasanya. Sambil menanjak kembali, aku berkali-kali menengok ke belakang, selain untuk mengambil napas dan istirahat sedikit-sedikit, tentu saja untuk kembali melihat keagungan alam di balik tubuhku. Menengok lagi, mengambil gambar lagi, hingga ada sepasang anak muda yang menawarkan diri untuk mengambilkan gambar diriku. Sepertinya mereka sudah mengawasiku sejak tadi, dan menyadari kesendirianku: “mau difotoin, Mbak?”

Sekitar jam 6 lewat sepuluh menitan, aku tiba di puncak. Mengembalikan masker sewaan dan diambilkan gambar oleh seorang muda pengumpul masker. Banyak penjaja cinderamata yang terbuat dari belerang. Aku memilih untuk melewatkannya, buatku sendiri, oleh-oleh terbaik adalah foto, video, dan juga postingan blog untuk bisa dikenang sampai kapanpun. Barang-barang fisik akan memakan tempat, sementara aku tengah belajar menjadi seorang minimalis. Setelah terik begini, semua jadi jelas terlihat, banyak turis asing yang datang ternyata, bukan cuma wisatawan lokal. Memang Ijen begitu memesona, maka pantas saja bisa menarik banyak pengunjung.

Dalam perjalanan turun, aku bertemu seorang mahasiswa yang sudah dua semester kuasuh. Dia tengah menepi, duduk-duduk bersama keluarga besarnya. Saat kusapa, dia cukup kaget dan refleks mencium tanganku. Lalu si mahasiswa menggiringku jauh dari Ibunya: “jangan bilang-bilang Mama soal nilaiku ya Mbak, nanti ribet” | “HAHAHA”. Mamanya berteriak kesal “Bang, kok Mama nggak dikenalin si?!” | “Ini Mbak Nani, Ma. Dosen aku” | Sang adik menanyaiku berkali-kali: “beneran sendiri, Mbak? Ih keren baget si!” Saat turun, Gunung Meranti mentereng jelas di pandangan. Jadi meski kekuatan lutut benar-benar diuji, kubetul-betul menikmati. Jika disuruh memilih, aku lebih suka naik daripada turun. Tapi sebagaimana kehidupan yang tidak melulu naik, pasti ada turunnya.

Bagiku, perjalanan adalah adiksi. Bertemu orang-orang baru, memahami bahasa di antara mereka, mencicipi makanan khas berbagai daerah, mencoba berbaur dengan budaya yang berlaku di setiap tempat berbeda merupakan seikat pengalaman yang tak kudapat dari membaca buku atau sekadar mendengar kisah. Bisa melihat keindahan dunia dengan mata kepala sendiri, merengkuh pemandangan terbaik, menapaki tanah yang mengantarku pada tujuan utama, meraih restu semesta yang terejawantah pada baiknya cuaca, adalah serangkaian keberuntungan yang tak patut diragukan.
Perjalanan juga mengajarkanku bahwa selalu ada yang lebih di sekitar kita. Sekeras apapun manusia berusaha, hasil tak melulu sesuai harapan. Namun sejatinya kita telah menang dalam berproses, karena kau akan selalu mendapatkan nilai di balik setiap kegagalan. Hingga hari ini, aku terhenyak bahwa meski berkali-kali patah, nyatanya segala sesuatu yang tak meremukkanku, justru membuatku lebih kuat. Perjalanan bak penawar luka. Untuk itu, aku akan terus berjalan, hingga raga ini menyerah pada waktu. Terima kasih telah menerimaku dengan keagunganmu, Ijen.
N