Noura

“Bu, kenapa anak kecil harus nurut apa kata orangtuanya?”

“Karena orangtua lebih dulu tahu baik dan buruk ketimbang anak kecil.”

“Lalu kenapa Ibu nggak pernah melarang aku melakukan ini itu seperti orangtua temanku?”

“Karena Ibu pengin kamu memuaskan semua rasa ingin tahumu. Kelak kamu bisa memilah sendiri mana yang mau kamu tekuni dan apa saja yang perlu kamu tinggalkan.”

“Ibu nggak takut aku salah jalan?”

“Salah jalan itu perlu, Nak. Supaya kamu tahu sakitnya bersalah dan nggak akan mengulanginya lagi.”

“Aku boleh baca semua buku-buku Ibu di perpustakaan?”

“Itu bukan buku-buku Ibu, tapi buku-buku kita. Tentu saja kamu boleh membaca semuanya, sesukamu.”

img_5565

N

River

Jam 19 malam itu, Nina berkemas, merapikan meja kerja seperti biasa ia lakukan sesaat hendak meninggalkan kantor. Dia membayangkan mandi air hangat, lalu rihat di kamarnya sambil melanjutkan novel yang belum rampung ia baca.

“Sudah pulang?” Begitu bunyi pesan singkat yang ia terima lewat WA. Dari River.

“Belum”, balasnya.

“Nyebrang saja”

“Ke mana?”

“Cempaka”

Dia manut, menyeberang jalan raya, lalu menghampiri mobil kijang yang sudah menunggunya di tepi jalan.

“Tadi kenapa nggak bilang kalau mau bareng?” Selorohnya pada River sambil memasang sabuk pengaman. Yang ditanya diam saja, lurus menatap jalan di depannya, tanpa ekspresi. Nina sudah terbiasa dengan River yang tidak suka basa basi. Ia tahu, kalau River ingin bersamanya kapanpun, maka lelaki itu akan bersegera memintanya tanpa butuh alasan.

“Sudah makan?” Begitu tetiba River bertanya sambil tetap konsentrasi di balik kemudi.

“Belum tiga kali hari ini” jawab Nina jujur.

“Mau makan apa?”

“Makan nasi”

Kemudian tangan kanan River memijat jidatnya sendiri, “nasi.. terlalu abstrak, spesifiknya mau nasi apa?”

“Seafood enak”

Nina sudah paham dengan River yang seperti robot. Bicara dengan River harus jelas dan terang benderang. Jika pengin makan, nggak cukup dengan bilang “mau makan nasi”. Harus sejelas “mau makan nasi padang/nasi bebek/nasi uduk, dll.”

Nina sudah memilih River sejak hatinya tergetar. Saat benih-benih kasih sayang timbul. Maka sekaku apapun River, Nina senantiasa berterima. Sudah tahun ketiga Nina dan River saling mengenal, tapi malu-malu itu tak berhenti muncul di antara mereka. Tiap mata mereka beradu. Juga tatkala aroma tubuh yang satu tertangkap oleh yang lain. Dan derap langkah kaki River saat mendekat deksnya sekadar memerhatikan apa yang tengah Nina kerjakan, atau bertanya “ada yang bisa dimakan?”

img_5333

N

Main ke Istanbul 2

img_5515

Istanbul tidak termasuk dalam daftar kota impian yang ingin saya kunjungi semasa hidup. Tapi setelah main ke sini, saya baru sadar bahwa kota ini begitu indah hingga sulit melupakan pesonanya. Selepas pulang ke tanah air, saya seolah menjadi pribadi yang lebih kaya secara emosional dan intelektual. Menyambangi kota terbesar di benua Eropa ini membuat saya sertamerta belajar banyak sekali hal.

img_5542

Mulai dari memahami budayanya, beradaptasi dengan makanan dan cuacanya, hingga menyesap suasananya yang mungkin tidak akan saya dapatkan di kota-kota lain di belahan dunia manapun. Orang-orang Turki cukup menarik perhatian saya. Betapa tidak, lelaki dan perempuan Turki memang terkenal rupawan, apalagi anak-anak kecilnya yang lucu-lucu menggemaskan. Perpaduan ras Mongoloid dan Kaukasoid terejawantah sempurna dalam bangsa Turki.

img_5536

Istanbul yang dalam sejarah juga dikenal sebagai Konstantinopel dan Bizantium, adalah kota terpadat di Turki yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan sejarah negara tersebut.

img_5537

Istanbul merupakan kota lintas benua di Eurasia yang membentang melintasi Selat Bosporus di antara Laut Marmara dan Laut Hitam. Pusat perdagangan dan sejarahnya terletak di sisi Eropa, sementara sekitar sepertiga penduduknya tinggal di sisi Asia.

img_5539

Kota ini merupakan pusat pemerintahan dari Munisipalitas Metropolitan Istanbul (berbatasan dengan provinsi Istanbul), keduanya memiliki keseluruhan populasi sekitar 14 juta penduduk. Istanbul merupakan salah satu kota yang paling padat penduduknya di dunia, menempati peringkat enam terbesar di dunia menurut populasi dalam batas kota.

Grand Bazaar

img_5896

Grand Bazaar

The Grand Bazaar (bahasa Turki: Kapaliçarsi, yang berarti ‘Covered Market’, juga Büyük Çarsi, yang berarti ‘Grand Market’) di Istanbul adalah salah satu pasar tertutup terbesar dan terlama di dunia, dengan 61 jalan yang tertutup dan lebih dari 4.000 toko yang menarik antara 250.000 dan 400.000 pengunjung setiap hari. Pada tahun 2014, tempat ini menduduki urutan nomor 1 di antara tempat-tempat wisata yang paling banyak dikunjungi di dunia dengan 91.250.000 pengunjung per tahun. Grand Bazaar di Istanbul sering dianggap sebagai salah satu pusat perbelanjaan pertama di dunia.

img_5796

Di sini saya mendapat satu taplak meja dari pengunjung dan satu handuk gratis dari pedagang karena membantu satu keluarga menerjemahkan bahasa Inggris saat berbelanja di salah satu toko. Orang-orang Turki tidak bisa bicara dalam bahasa Inggris. Para pedagang pun belum tentu mampu berbahasa Inggris dengan baik. Selusin gantungan kunci, pashmina, dan beberapa dompet kecil sebagai oleh-oleh saya bawa pulang setelah berhasil menawar harga yang diajukan di awal oleh pedagang. Belanja di Grand Bazaar mirip dengan berbelanja di Tanah Abang Jakarta, kita harus pintar menawar agar dapat harga miring, bahkan mendapat bonus. Saya sarankan agar menawar langsung 50% dari harga yang diberikan. Drama pergi meninggalkan toko juga perlu dilakukan, karena sesaat kemudian mereka akan memanggil kita lagi jika memang harga yang kita tawar masih masuk dalam hitungan bisnis mereka.

Bosphorus Cruise

img_5928

Di Istanbul Turki kita bisa menikmati indahnya Asia sekaligus Eropa. Benua Eropa dan Asia hanya dibatasi oleh sebuah Selat, Selat Bosphorus namanya. Bosphoruslah yang memisahkan Turki bagian Eropa dengan Turki bagian Asia. Selat ini juga menghubungkan antara Laut Marmara dengan Laut Hitam. Laut Marmara ini terhubung dengan Laut Aegea, yang dalam cerita Homer merupakan jalur yang digunakan Achilles menyerang Troy di Asia kecil, dan lebih ke selatan dengan Laut Mediterania.

img_5960
Jembatan Bosphorus

Sejak zaman kejayaan Yunani sebelum era Bizantium dan Usmani, Bosphorus Istanbul Turki telah menjadi bandar rempah yang ramai. Selat ini memiliki panjang 30 km, lebar maksimum hanya 3.700 m dan minimum 750 m. Kedalaman selat ini dari 36 meter sampai 124 meter. Di kanan kiri selat ini kita bisa merasakan sensasi dan keindahan kehidupan Istanbul.

img_5949

Di Bosphorus ini kita bisa menikmati keindahan jembatan Bosphorus, penghubung antara dua benua, yaitu Jembatan Fatih Sultan Mehmet yang menghubungkan benua Asia dan benua Eropa.

img_5634
Jembatan Fatih Sultan Mehmet

Jembatan Bosphorus ini diselesaikan pada tahun 1988, saat itu jembatan tersebut menjadi jembatan gantung terpanjang kelima di dunia. Sekarang jembatan tersebut berada pada urutan ke-19. Jembatan tersebut mengambil nama dari Sultan Utsmaniyah abad ke-15 (Mehmed Sang Penakluk), yang menaklukkan ibukota Bizantium, Konstantinopel pada tahun 1453.

img_5920
Bosphorus Cruise

Seorang teman Turkish menggodaku untuk kembali ke Turki di musim semi. Katanya, bunga-bunga akan bermekaran indah sekali. Terlebih, kita bisa melihat lautan bunga tulip. Syahdan, tulip yang terkenal di Belanda itu berasal dari Turki.

Ini adalah cerita hari terakhirku di Istanbul. Saya siap pulang dengan bahagia membawa segudang kisah dan pengalaman tak terlupakan. Menuliskannya di sini juga merupakan upayaku untuk mengenang perjalanan ini. Dan saya menyadari satu hal, bahwa semakin jauh pergi, kian cinta kita pada tanah air dan kampung halaman.

N

Menjemput Salju di Bursa

img_5710

Seru, adalah satu kata yang mampu mewakili pengalaman pertamaku menyapa salju. Lebih dari tiga dekade hidup di negara beriklim tropis membuatku penasaran dengan suasana negara-negara bermusim banyak, baik itu pada saat musim gugur, musim semi, maupun musim dingin hingga turun salju. Rasa ingin tahuku itu terjawab di hari keduaku singgah di Turki. Jika di hari sebelumnya cukup puas mengeksplorasi Istanbul sebagai kota pusat bisnis di Turki, maka hari ini saya merambah Bursa, kota dataran tinggi di Turki.

img_5730
Pintu Masuk Bursa Teleferik

Bursa merupakan kota yang terletak di Turki bagian barat dengan dikelilingi oleh Balikesir di sebelah barat, Izmit, Yalova, dan Istanbul di bagian utara, Bilecik dan Adapazari di bagian timur serta Eskisehir dan Kutahya di bagian selatan. Berdasarkan data Bursa Special Provincial Administration tahun 2012, penduduk Bursa mencapai 5.410.000 jiwa. Kota ini merupakan kota terbesar keempat di Turki setelah Istanbul, Ankara, dan Izmir. Kota seluas 11.034 m2 ini pernah menjadi ibukota pertama Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1326 sampai tahun 1365.

img_5728
Pengecekan Barang

Seperti puncak Bogor di Jakarta, jalan menuju Bursa terus menanjak, hingga akhirnya kami tiba di pintu masuk gunung Uludag. Di puncak gunung Uludag inilah salju kunikmati. Turun dari bus yang membawa rombongan, kami langsung menuju pintu masuk dan registrasi.

img_5725
Cable Car

Setelah terdaftar, kami mulai antri naik cable car, di Indonesia biasa disebut dengan kereta gantung. Sebetulnya cable car bukan kendaraan satu-satunya untuk menuju puncak Uludag. Kita juga bisa menggunakan mobil di jalan aspal biasa, tapi waktu tempuh perjalanan bisa sampai satu jam, sementara dengan cable car cukup dilalui selama lima belas menit saja. Selain hemat waktu, pengalaman berada dalam kotak transparan di udara dengan menyaksikan hamparan lansekap yang indah tentu menyenangkan. Kita disuguhi pemandangan kota Bursa dari ketinggian, lalu gradasi hijau dan salju yang mulai menutupi pepohonan, hingga putih dan abu-abu total.

img_5718

img_5714

Salju di Turki bagian Asia ini konon biasanya sampai setinggi dua meter, tapi hari ini baru sekitar lima belas centimeter saja karena ternyata salju baru turun dua hari lalu sejak musim gugur berakhir dan memasuki musim dingin. Saya merasa salju ini benar-benar menyambut kedatangan saya. Seolah dia pun ingin berjumpa dengan saya yang belum pernah menyapanya!

img_5708

img_5711-1

img_5678

Minus enam derajat celcius tidak menyurutkan senyumku yang terus terkembang. Dingin? Tentu saja! Tapi bahagianya tak terkatakan rasanya.

img_5694

Green Mosque

img_5755

Sebelum kembali ke Istanbul, kami sempat mampir ke Green Mosque atau Masjid Hijau di Bursa. Sebagian besar masjid ini dihias dengan ornamen yang didominasi warna hijau tosca dengan ribuan keping keramik buatan tangan dari para seniman pada masa itu.

img_5783

img_5771

Mihrab masjid ini menampilkan contoh terbaik dari keindahan keramik hias buatan tangan. Sama halnya dengan sebagian besar masjid ini yang juga dihias dengan keramik sejenis sehingga keramik-keramik ini menjadi sesuatu yang istimewa dan menjadikan masjid ini berbeda dengan masjid-masjid tua era Utsmaniyah lainnya.

img_5763

Area khusus untuk Muazin (Mehfil) termasuk area khusus untuk Sultan juga dihias dengan keramik buatan tangan. Pada area khusus untuk Sultan, keramik yang digunakan bermotif bunga. Banyaknya keramik buatan tangan di masjid ini menjadikan Green Mosque sebuah mahakarya dari para seniman keramik era itu.

img_5767

Hal menarik lainnya dari masjid ini adalah denah bangunannya yang tidak biasa. Denah bangunan Masjid Hijau ini berbentuk huruf T terbalik, sehingga secara artifisial membagi ruang shalat di dalamnya menjadi tiga bagian, yaitu ruang utama di sekitar mihrab dan mimbar, kemudian ruang di sayap kiri dan kanan.

img_5774
Tempat Wudhu Jamaah Lelaki

Untuk arah kiblat shalat, di negara-negara Eropa termasuk Turki tidak mengarah ke barat seperti di Indonesia, tapi mengarah ke selatan karena wilayah Turki berada di sebelah utara Ka’bah sebagai pusat kiblat shalat umat muslim. Dengan demikian, fasad atau sisi depan masjid ini berada di sebelah utara bangunan, sedangkan sisi mihrabnya berada di bagian selatan.

img_5775

Setelah makan siang di salah satu restoran di Bursa, kami masih punya waktu untuk berbelanja. Saya sempat mampir ke Silk House untuk membeli beberapa book marker dan square hijab. Turki sangat terkenal dengan produk tekstilnya. Mulai dari pakaian yang dikenakan di badan hingga sajadah, karpet dan permadani.

img_5797

img_5779

img_5802

img_5800

Menjelang sore hari, kami kembali ke Istanbul dengan mengendarai kapal melintasi laut Marmara. Sekawanan burung yang terbang di luar kapal mengalahkan udara dingin nan menusuk. Alih-alih menikmati cokelat panas di dalam kapal, saya masyuk mencandai burung-burung itu.

img_5832

N

Main ke Istanbul

“Jauh banget mainnya!” Begitu kata beberapa teman yang tahu saya tiba di Istanbul pada 24 Februari 2018. Turki adalah tujuan kedua setelah Saudi Arabia. Jadwal penerbanganku dimulai pada jam 21.30 waktu Indonesia bagian barat hingga tiba di Bandara Ataturk jam 05.55 waktu Turki. Terbang selama 12 jam 25 menit dari Jakarta nggak sungguh-sungguh membuatku jetlag. Mungkin karena senang. Jadi nggak begitu terasa lelahnya. Biasanya terbang 4 jam saja sudah uring-uringan karena memang pesawat bukan moda transportasi kesukaanku.

Lepas dari drama ketinggalan uang di kamar, akhirnya kubisa duduk tenang di kursi penumpang kelas ekonomi Turkish Airlines, pengalaman berkendara air bus pertamaku. Layanannya cukup memuaskan. Selama di udara, kami diberi dua kali makan berat dan dua kali minuman hangat atau dingin yang bebas dipilih. Mereka juga memberi kami satu pouch berisi penutup mata, kaos kaki, tasbih digital, cotton buds, nail shaper, sikat gigi, dan sandal lipat. Terbang setinggi itu pun nggak begitu terasa. Bisa jadi karena saya pulas tertidur dalam waktu yang cukup panjang. Selain memang itu malam hari (siklus waktu tidurku) sepertinya juga karena saya cukup lelah setelah ngantor setengah hari sebelum bergegas ke bandara diantar tante dan adik sepupu.

2253de75-f9b7-4ba9-beeb-96115b38dcd3

Dini hari waktu Turki, kami (saya dan rombongan, total 11 orang) mendarat di bandara Ataturk, kota Istanbul. Keluar dari bandara langsung disergap udara yang dingin menusuk tulang. Sampai 4 derajat celsius rupanya! Pantas saja. Kulangsung merapatkan coat sambil tetap menggigil. Di bandara sudah dijemput tour guide dengan bus. Tak lama dia mengucapkan selamat datang, berkenalan dan memberi tahu ke mana saja kami akan pergi seharian itu.

img_5360

Dari bandara Ataturk kami menuju salah satu restoran di Istanbul. Makanan yang tersedia begitu beragam. Mulai dari berbagai macam roti, sayuran mentah, hingga buah. Bicara soal makanan, lidahku kurang cocok dengan Turki. Saya nggak suka buah zaitun yang konon banyak khasiatnya, toh selalu terasa pahit. Selama di Turki, saya kerap memilih makanan yang sama untuk sarapan. Pada sarapan pertama itu, saya mengambil croissant, keju, telur, sayuran mentah, roti tawar, jus jeruk/jambu, tomat, dan apel. Makan siang sesuai menu khas restoran yang kami datangi, begitu juga untuk makan malam. Orang Turki suka sekali makan buah zaitun dan yogurt. Bahkan kata “yogurt” sendiri berasal dari negara ini. Asam sepertinya menjadi rasa yang mereka gemari. Mereka nggak suka pedas samasekali, jadi tiap makan, baik pagi, siang, maupun malam, saya selalu berseru: “chili sauce, please!” kepada pramusaji.

Istana Topkapi

img_5395-1

Selesai sarapan, saya membersihkan diri, berganti pakaian, dan bersiap jalan-jalan. Tujuan pertama kami pagi itu adalah Istana Topkapi yang merupakan kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun, yaitu antara 1465-1856. Di bawah kepemimpinan Sultan Mahmet II, istana ini mulai dibangun pada tahun 1459. Komplek istana yang sempat dihuni oleh 4000 orang ini terdiri dari 4 lapangan utama dan banyak bangunan kecil lainnya. Selain sebagai tempat tinggal kerajaan, istana ini juga digunakan untuk menggelar acara-acara kenegaraan dan hiburan. Istana Topkapi kini menjadi daya tarik wisata yang berisi peninggalan suci penting umat Muslim, termasuk pedang dan jubah Nabi Muhammad SAW.

img_5458

img_5451

img_5409

img_5413

img_5460

img_5373

img_5504
Dapur Istana

img_5407

img_5455

img_5425

img_5487

img_5484

img_5459

img_5441

img_5466

Hagia Sophia

img_5517

Puas bermain di Istana Topkapi, kami menuju Hagia Sophia yang masih termasuk dalam komplek Sultan Ahmet Square. Ada haru saat mendengar nama Hagia Sophia. Saya tahu tempat ini dari film Inferno. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dan Brown ini menjadikan Hagia Sophia sebagai salah satu latar sentralnya. Ron Howard sang sutradara membuat film ini begitu apik. Saya jatuh cinta pada Hagia Sophia dalam film. Lalu hari ini berkesempatan menginjakkan kaki di sini rasanya seperti mimpi jadi nyata.

img_5368

Jadi, Hagia Sophia ini dulunya gereja, lalu berubah fungsi menjadi masjid, dan sekarang berubah fungsi lagi menjadi museum. Hagia Sophia merupakan salah satu prestasi arsitektur terbesar di dunia. Setelah bertahun-tahun direstorasi, akhirnya kita bisa menikmati kemegahan Hagia Sophia. Saat berdiri di tengah-tengah bangunan ini, akan terlihat bentangan kubah selebar 43 meter dengan tinggi 65 meter di atas kepala.

img_3040

Berada dalam kekokohan Hagia Sophia membuatku berpikir bagaimana teknologi dan kecanggihan arsitektur saat itu bisa membuat kubah ini tetap berdiri hingga sekarang. Di atapnya yang melengkung indah, kita bisa melihat karya seni mozaik Bizantium, yaitu lukisan Yesus Kristus yang diapit oleh Kaisar Constantine IX dan istrinya, Empress Zoe. Kuning keemasan pada atapnya terbuat dari emas asli.

img_3031

Saat bangunan ini beralih fungsi menjadi masjid, lukisan Kristus tersebut ditutup lalu bagian atap mulai dihiasi dengan kaligrafi dan di sekeliling dinding dipasang lafadz Allah, Muhammad, Hasan, dan Husein dalam ukuran raksasa. Selain itu, ada juga tambahan mimbar untuk berkhotbah dan tempat imam shalat.

img_3021

img_3020

img_3019

Saat tempat ini kembali beralih fungsi, kali ini menjadi museum, semua simbol Nasrani yang sebelumnya ditutup, mulai dibuka lagi. Akhirnya kita bisa melihat simbol-simbol dua agama samawi di dalam bangunan ini.

img_3035

Saya jatuh hati pada Hagia Sophia, juga pada bagaimana negara ini memperlakukan sejarah dan karya seni. Bagian ini benar-benar menggugah sisi emosional saya. Hagia Sophia adalah simbol toleransi. Lambang hidup rukun berdampingan antara kaum yang satu dengan kaum lainnya.

img_5523

Masjid Biru

img_5559

Masjid Sultan Ahmet (Sultan Ahmet Camii) atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Biru (Blue Mosque) merupakan masjid bersejarah yang terletak di Istanbul. Masih termasuk dalam komplek Sultan Ahmet Square, masjid ini berada tepat di sebelah Hagia Sophia. Sultan Ahmet Camii yang dibangun pada tahun 1606-1616 selama pemerintahan Sultan Ahmet I ini merupakan salah satu objek wisata populer di Istanbul.

img_5555

Masjid ini terus berfungsi sebagai masjid hingga sekarang, artinya jamaah dapat melakukan shalat di sini. Menjelang waktu shalat, masjid hanya dibuka bagi jemaat dan ditutup sementara untuk para pengunjung. Pengunjung perempuan yang mengenakan celana ketat diharuskan menggunakan semacam rok mukena. Mereka juga diwajibkan memakai kerudung untuk menutupi kepalanya bagi yang memang tidak behijab agar bisa memasuki area masjid.

img_5562

Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Biru karena lantai dan dinding interiornya berwarna biru yang merupakan hasil lukisan tangan. Pada malam hari, masjid akan bermandikan cahaya biru yang berasal dari lampu bingkai lima kubah utama masjid, enam menara, dan delapan kubah sekunder.

img_5581

Di sini saya bertemu seorang nenek Turkish yang memerhatikan mukena saya, lalu meraba motif dan rendanya. Saya maklum karena perempuan Turki tidak mengenakan mukena ketika shalat. Mereka cukup memakai gamis, kaos kaki, dan kerudung. Setelah melaksanakan shalat dzuhur, saya melipat mukena, lalu si nenek kira-kira bilang begini dalam bahasa Turki yang tidak saya mengerti: “kok sudah dilipat? Kan belum adzan”. Saya memahami maksud si nenek dari bahasa tubuhnya. Saya lantas menjawab dengan bahasa Inggris yang sepertinya juga tidak dia pahami. Dia kemudian meminta saya membaca satu ayat al-Qur’an. Saya manut. Sertamerta dia menciumi pipi saya. Saat saya bilang: “I’m Indonesian” sepertinya si nenek tahu Indonesia. Dia memaksa saya untuk membawa al-Qur’an miliknya yang baru saya baca. Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa Turki. Padahal saya sudah menjelaskan bahwa saya pun mempunyai al-Qur’an, tapi saya simpan di koper. Dia tidak peduli, dia ingin saya menyimpan al-Qur’an itu. Tak lama setelah itu, adzan berkumandang. Jadi betul apa yang si nenek maksudkan tadi. Ternyata saya shalat di luar waktu. Maka saya mengulangi shalat dzuhur dengan ikut berjamaah. Sebelum dan sesudahnya diiringi shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah yang didirikan secara munfarid atau masing-masing. Ketika hendak berpisah, si nenek kembali menciumi pipi saya seraya memanjatkan doa-doa dalam bahasanya yang lagi-lagi tidak saya pahami.

img_5557

img_5568

img_5563

img_5582

img_5535

N

Dosen Zaman Now

img_3013

“Dulu waktu kuliah, saya nggak begitu deh rasanya!”

Ungkapan di atas sering muncul di benak saya dalam menghadapi mahasiswa yang datang tanpa membawa alat tulis saat bimbingan akademik, magang, atau bahkan skripsi sekalipun. Maka dengan rela hati, saya menyediakan banyak sekali pulpen untuk dipakai sebanyak mungkin mahasiswa. Tak sedikit pula mahasiswa yang tidak membawa kertas saat kuliah. Mereka akan segera tengok kanan kiri bergerilya mencari kertas untuk mengerjakan kuis.

Pikiran semacam kutipan di atas juga hadir saat saya mendapati mahasiswi yang tetiba teriak dari kejauhan: “Ibuuu…” lalu plok, tubuhnya serta merta nemplok di tubuh saya. Atau tanpa risih mencubit karena gemas. Tidak jarang juga mereka meminta “Bu, Bu.. Selfie yuk Bu!”

img_3012

Belum lagi ketika digombali banyak sekali mahasiswa yang kerap berujar “Ibu cantik banget sih!”, “Eh kenalin, ini dosen saya, artis!” “Miss, umurnya berapa sih? Masa? Nggak kelihatan ah! Awet muda banget Miss!”, “Jangan galak-galak ya Mak nyidangnya!”, “Aku nggak mau manggil ‘Ibu’ ah, ‘Kakak’ aja!”. Karepmu, Le, Le.. 😐

Sama halnya kala menerima pesan singkat dari mahasiswa dengan bahasa ajaib yang selayaknya kalimat itu dikirim ke teman sebayanya. Seperti tanggapan: “yah” atas kekecewaannya yang tidak bisa menemui saya di hari itu. Tak heran mereka akan mengirim pesan melalui media apa saja yang mereka mau. Banyak juga mahasiswa yang menghubungi saya melalui media sosial. Akun media sosial dosennya pun mereka dapat sendiri dari google. Rupanya di pertemuan pertama kuliah, saat perkenalan berlangsung, mereka langsung gugling siapa sebenarnya sosok dosen barunya ini. Maklum jika mereka langsung mengikuti akun media sosial mulai dari academia.edu, LinkedIn, Twitter, Facebook, Path, hingga Instagram.

Teringat pada masa saat saya kuliah strata satu dulu. Jangankan menggoda dosen, mau kirim SMS saja dibaca lagi berulang-ulang, takut kurang sopan, mengganggu, atau menyinggung perasaan. Kala itu, saya juga tidak terbekali informasi apa saja karya ilmiah yang pernah dibuat dosen saya, hingga bagaimana dia menunjukkan diri di media sosial 😀

Tantangan di Kelas

Proses belajar mengajar di kelas pun telah jauh berubah. Mahasiswa hari ini terbekali teknologi yang sudah begitu canggih. Materi yang akan dibahas di kelas sudah mereka unduh di portal kampus. Tidak sedikit juga mahasiswa yang datang ke kelas untuk mengkonfirmasi apa yang mereka alami dengan apa yang teori tawarkan atas satu peristiwa. Kebaruan contoh kasus dan relevansinya dengan teori niscaya perlu dimiliki seorang dosen.

img_3002-1

Setiap bidang ilmu tentu mempunyai ciri khasnya masing-masing. Mengampu mata kuliah dalam rumpun ilmu sosial pun jelas memiliki kekhasan. Fenomena dalam ilmu sosial begitu banyak. Dalam ilmu sosial, banyak sekali bahan untuk dijadikan contoh atas teori tertentu atau menjadikannya suatu objek penelitian.

Pernah satu ketika, saya mengajar mata kuliah yang belum pernah saya ajarkan sebelumnya. Ini juga menjadi tantangan tersendiri. Saya teringat akan satu artikel ilmiah yang saya tulis dua tahun lalu dan relevan dengan isu yang dibahas dalam mata kuliah ini. Motivasi menulis artikel itu hanya untuk mengakomodasi hobi. Lalu artikel tersebut berkesempatan dipresentasikan dalam forum ilmiah, kemudian terbit di jurnal.

Hari ini pengetahuan saya semakin kaya terkait tulisan itu. Di pertemuan pertama minggu lalu, saya meminta kelas mengulas artikel tersebut dan mengkorelasikannya dengan objek pilihan kelompok. Di pertemuan kedua ini, kelas mendebatnya, memberi saya pengetahuan baru atas hal-hal yang luput dari perhatian saya saat itu. Terkadang kita tak betul-betul paham alasan melakukan ini. Juga tidak tahu mengapa tetap bersetia pada hal itu. Namun ternyata muaranya adalah kebermanfaatan.

img_3004

Zaman terus bergerak. Segalanya berubah. Hal ini perlu disadari agar tidak shock berkepanjangan. Lebih jauh, supaya dosen zaman now punya metode belajar yang tepat demi efektifnya pembelajaran. Dengan begitu, mengajar akan menjadi kegiatan yang menyenangkan, di samping beban tri dharma perguruan tinggi lain yang harus dipenuhi, yaitu pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian serta publikasi karya ilmiah yang paling banyak menyita waktu, pikiran, dan energi.

N

Menyapa Curug Cilengkrang

Libur panjang akhir tahun 2017 ini kuhabiskan total di kampung halaman. Sengaja mengambil cuti tahunan untuk menikmati libur natal dan akhir tahun yang dijeda dua hari wajib ngantor. Biasanya langsung berencana ke luar kota, ke mana saja tempat yang belum pernah kukunjungi. Tapi telepon Mama menggugurkan kebiasaan itu, “kapan pulang, Mbak? Nggak kangen apa? Mama pengin masakin!” Duh, anak rantau mana yang tahan dengar tawaran itu? Terlebih aku sudah lama tidak bertemu Mama.

Terakhir pulang kampung saat libur lebaran Idul Fitri tahun ini. Di libur lebaran Idul Adha aku sakit hingga harus masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit karena kelelahan. Jadi sudah sekira setengah tahun tidak mudik. Padahal antara Jakarta-Kuningan tidak terlampau jauh. Cukup dilalui dengan kereta Cirebon Express selama tiga jam. Tapi kesibukan di ibukota membuat jarak yang tidak seberapa itu selalu menjadi persoalan.

img_4616
Refreshing Mind and Body

Tadinya cuma mau leyeh-leyeh di rumah. Apalagi cuaca mendukung. Hujan terus! Ternyata sudah bosan meski belum genap seminggu. Setelah menengok Nenek dan Kakek di hari pertama, kumengajak Mama nonton film Ayat-ayat Cinta 2 (dulu nonton yang pertama dengan Mama juga) di hari kedua.

Hari-hari berikutnya kulalui dengan berpuas-puas masak makanan apapun yang kumau, lari pagi sampai ke desa tetangga, membaca buku dan menonton film lengkap dengan membuat ulasannya. Di hari kedelapan aku nekat mengajak adik perempuan untuk menjelajah alam. Yang diajak langsung sigap. Berbeda dengan adik laki-laki yang selalu habis waktu dan energinya untuk bermain bola atau futsal saat sedang liburan di kampung halaman.

img_4617
Captured by My Young Sister

Berbekal motor Vega R 2005 yang legendaris dan penuh kenangan juga peluh (kugunakan saat kuliah strata satu dan tinggal di Cirebon dulu), nama Curug Landung kudapat setelah berselancar di dunia maya untuk mencari destinasi wisata alam yang cukup menarik perhatian di Kuningan. Setelah melihat foto-fotonya di google, juga menghitung jarak dan rutenya di peta digital, aku dan adik perempuanku bersiap berangkat.

Dari Cilimus menuju ke arah Jalaksana, lalu belok kanan setelah bertemu Masjid Jalaksana. Setelah itu lurus dan menanjak terus hingga menemukan arah panah menuju desa Pajambon (Curug Landung terleta di desa ini). Tidak berapa lama sesudah masuk desa Pajambon, kami temukan petunjuk menuju Curug Landung.

Setelah bertemu petunjuk masuk curug tanpa embel-embel ‘Landung’, kami berhenti dan memarkir motor. Gerbang pintu masuknya tidak bertuliskan nama tempat ini. Berjalan kakilah kami sejauh kira-kira 1 km dan terus menanjak sambil bertanya-tanya “mana curugnya?”. Di perjalanan, kami bertemu sekelompok orang tua di warung kecil. “Mana curugnya, Bu?” tanyaku. “Masih jauh Neng, naik terus, Ibu mah sampai sini aja, nggak kuat lagi.” Setiba di pintu penjualan karcis, kami baru tahu bahwa itu adalah Curug Cilengkrang, bukan Curug Landung!

img_4605
Lembah Menuju Curug Cilengkrang

Niat awal menuju Curug Landung yang berdasarkan keterangan petugas Curug Cilengkrang jaraknya masih sekira 4 km menanjak lagi, pupus sudah. Apa daya, rasanya sudah tak sanggup lagi memacu motor dengan tingkat tanjakan yang begitu curam. Sayang juga jika harus ke luar lagi karena sudah berjalan kaki sejauh ini.

Rupanya Curug Cilengkrang pun bukan pilihan buruk. Akhirnya kami membayar karcis masuk dengan tarif Rp12.500,- per orang. Dari sana masih harus berjalan sekitar 3 km lagi untuk sampai ke curugnya. Benar-benar perjalanan penuh perjuangan! Di sinilah pepatah “hasil tak pernah mengkhianati usaha” berlaku.

img_4497
Yeay!

Setiba di curug, terbayar sudah segala lelah! Meski tak terlampau besar, air terjunnya begitu jernih dan dingin. Kami bertemu beberapa gadis belia yang tengah basah kuyup di bawah curug sambil berseru “ke sini, Teh!” saat melihatku yang cuma berani sampai muka curug dan mengambil gambar. Selain mata air dingin, di sana juga kita akan bertemu mata air panas dengan aroma belerangnya yang khas. Benar-benar dualitas yang sempurna.

Di lembah ini juga akan kita temukan hutan pinus yang tidak begitu luas, namun cukup mengobati rindu akan pinus yang menjulang dan menenangkan. Dari pinus, aku belajar untuk berdiri tegak menjadi diri sendiri dengan bangga. Yang justru hal itu berefek meneduhkan, bukan menyombongkan.

img_4589
Hutan Pinus Mini

Lalu, memang hutan pinus luas mana yang pernah kusambangi? Di tahun 2016 kusempat mampir ke hutan pinus Mangunan di Yogyakarta. Kala itu ditemani adik sepupu yang sigap menemaniku berpetualang selepas kelas workshop penelitian. Selain itu, di tahun yang sama aku juga main ke hutan pinus Cikole, Lembang. Yang kedua ini kudatangi sendiri setelah mendampingi lomba mahasiswa di Universitas Padjadjaran.

img_4560
Pine Hug!

Setelah puas menyesap udara segar dan mengambil gambar. Kami memutuskan untuk pulang. Perlajanan pulang lebih terasa pegal di lutut. Mampir sebentar ke warung kecil, menyantap cireng dan bakwan hangat. Yang pasti kini aku punya travel mate di rumah, yang mengendarai motornya sudah jago sekali dan siap diajak ke mana pun kumau. Liburan kali ini cukup menorehkan manis. Semoga bisa menjadi amunisi untuk setahun ke dapan. Nggak yakin juga sebetulnya, paling tahan sebulan. Setelah itu kudu jalan-jalan lagi.

N

Terasering Argapura

img_4904
Bukit di Balik Terasering Argapura

Penasaran dengan Argapura sejak seorang teman fotografer mengunggah satu foto sawah terasering di media sosial Instagram. Berbekal keterangan lokasi “Argapura-Majalengka” di foto tersebut, kulangsung menelusuri nama itu di google. Lalu terhenyak, ada ya pemandangan bak surga di dekat kampung halamanku!

img_4855
Captured by Stranger

Nekad berangkat berdua saja dengan adik perempuan, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan setelah menempuh tiga jam perjalanan darat dari Kuningan.

img_4822
Santai di Sawah

Semula kumenduga Argapura adalah sawah padi, ternyata si hijau yang menjulur-julur itu adalah daun bawang. Kutemui juga tanaman tomat, cabai, dan padi, tapi tidak semendominasi daun bawang.

img_4817
Captured by My Sister

Tidak dipungut biaya samasekali saat masuk lokasi, karena sepertinya Argapura adalah perkebunan warga sekitar, bukan obyek wisata. Tapi tidak menutup kemungkinan ke depan akan diberlakukan tarif masuk. Pengunjung hanya dibebankan biaya parkir kendaraan.

img_4780
“Coba jangan senyum, Mbak!”

Dulu cuma tahu Bali yang memang terkenal dengan sawah teraseringnya. Kini nggak perlu jauh-jauh ke Bali untuk menikmati keindahan hamparan hijau berundak.

img_4771
My Sister My Travel Mate

Saat berpose mengambil foto, terdengar suara-suara berbisik di kelompok pengunjung lain: “kayaknya dia selebgram deh” alih-alih menjawab: “kami selebton” senyum sajalah 🙂

img_4683

Tepat ke mari di hari libur tahun baru 2018, Argapura cukup banyak didatangi pengunjung. Sebagian besar berbahasa Sunda, Indonesia, terdengar pula sayup-sayup bahasa Cirebon di sela obrolan anak-anak muda yang tengah sibuk mengambil foto.

img_4667

Mengawali tahun dengan berpetualang seru juga. Pertanda akan banyak bepergian di sepanjang tahun ini, atau malah perjalanan kali ini akan menjadi bekal kesibukan hingga setahun ke depan? Apa pun, saya siap!

img_4626

N

Origin

img_3793
dokumen pribadi

Masih bagian dari Langdon series, Origin berkisah tentang Edmond Kirsch, seorang futuris yang berupaya mengungkap dua pertanyaan fundamental dalam hidup: “dari mana kita berasal?” Dan “ke mana kita akan pergi?” Temuan Kirsch ini tentu mengusik institusi termapan dunia, agama. Kirsch mengutip hasil kerja berbagai ilmuwan, mulai dari fisika, biologi, kimia, antropologi, komputer, hingga seni.

Mahakarya Kirsch melampaui zamannya. Sebagai ahli komputer, ia mampu menciptakan kecerdasan buatan yang bahkan kecanggihannya dianggap mustahil oleh para pakar serupa di dunia. Berikut adalah beberapa kutipan menarik dalam Origin.

“Ingatlah kematian. Bahkan bagi mereka yang memegang kekuasaan besar pun, hidup itu singkat. Hanya ada satu cara untuk menang dari kematian, yaitu dengan membuat hidup kita menjadi mahakarya. Kita harus meraih setiap kesempatan untuk menunjukkan kebaikan dan mencintai sepenuhnya. Kulihat di matamu bahwa kau mewarisi jiwa murah hati ibumu. Nuranimu akan menjadi pemandumu. Ketika kehidupan berubah kelam, biarlah hatimu menunjukkan jalan” (p. 361). Kutipan pesan Raja Spanyol kepada putera mahkota, Pangeran Julian.

“Ketika kita bergerak menuju hari esok yang tidak pasti, kita akan berstransformasi menjadi sesuatu yang lebih hebat dan di luar bayangan kita, dengan kekuatan melampaui impian terliar kita. Dan saat itulah, jangan pernah melupakan kearifan Churchill, yang telah mengingatkan kita: ‘harga dari kehebatan.. adalah tanggung jawab” seru Kirsch menutup presentasinya (p. 461)

“…energi cinta dan cahaya.. mekar keluar untuk mengisi semesta secara tak terhingga. Cinta bukanlah emosi terbatas. Kita tidak hanya memiliki sedikit cinta untuk dibagi. Hati kita menciptakan cinta sebanyak yang kita butuhkan. Seperti halnya orangtua dapat langsung mencintai bayi yang baru lahir tanpa mengurangi cinta antara satu sama lain…” (p. 488)

N

Never Let Me Go

Cukup lama absen mereview film, kucoba mengakhiri tahun ini dengan menimbang Never Let Me Go. Sebetulnya lama tidak menulis review bukan berarti nggak menonton film dalam waktu yang lama. Aku selalu meninggalkan jejak di media sosial Path untuk judul-judul film yang baru saja rampung kutonton. Dan seperti biasa, aku hanya akan menulis reviewnya di sini untuk film yang betul-betul meninggalkan kesan mendalam buatku.

Libur akhir tahun ini aku agendakan total dihabiskan di kampung halaman. Berbekal banyak film dalam flashdisk atas rekomendasi seorang mahasiswa yang menobatkan dirinya sebagai full time Cinephille, rasa-rasanya tidak bisa dianggap remeh semua rekomendasinya itu. Selain tentu saja aku juga membawa satu novel tebal dan satu bacaan pinjaman dari seorang teman.

Never Let Me Go kupilih secara random siang ini, tanpa tahu jenis film apa itu dan sengaja tidak mencari tahu di awal. Film bergenre drama romantis ini bercerita tentang cinta segitiga anak-anak Hailsham Boarding School. Kathy H (Carrey Mulligan) jatuh cinta pada Tommy D (Andrew Garfield) sejak kecil. Tommy berperangai kasar dan pemarah mencuri perhatian Kathy. Kathy yang kutu buku kerap membantu Tommy. Lalu ada Ruth (Keira Knightley), sahabat Kathy yang di awal tampak benci dan tidak peduli pada Tommy, belakangan justeru ‘merebut’ Tommy dari Kathy.

Kehidupan murid-murid di Hailsham berjalan begitu teratur. Mereka dilahirkan dari hasil cloning orang-orang marginal seperti pekerja seks komersial,model majalah porno, hingga penderita AIDS. Murid-murid Hailsham diajarkan untuk mengenang masa lalu karena mereka tidak memiliki masa depan selain pada waktunya nanti, secara bergiliran mereka akan mendonasikan organ vitalnya bagi siapa saja yang membutuhkan. Ada yang meninggal dunia pada donasi pertamanya, ada juga yang bertahan hidup sampai donasi ketiga mereka.

Digarap pada 2010, Never Let Me Go diadaptasi dari novel karya Kazuo Ishiguro berjudul sama yang terbit pada 2005. Film ini disutradarai oleh Mark Romanek dan screenplay oleh Alex Garland. Berlatar Eropa tahun 1990-an, Never Let Me Go sukses menguras emosi.

Alkisah pada suatu hari di Hailsham digelar bazaar barang bekas. Semua murid antusias menukarkan koin yang mereka kumpulkan dengan barang bekas pilihan. Kathy tidak menukar koin dengan barang bekas apapun. Lalu Tommy menghampirinya dan bertanya mengapa. Kathy hanya menjawab akan mencoba melihat-lihat lagi saat bazaar sudah agak sepi. Tommy yang cenderung cuek memberi Kathy satu kaset yang ia pun tak tahu apakah lagu-lagu di dalamnya bagus. Namun ketulusan hati Tommy memberikan kaset itu pada Kathy berhasil menyentuh hati. Kathy pun mengecup pipi Tommy. Hingga dewasa, Kathy selalu menghayati lagu ‘Never Let Me Go’ yang mengalun dari kaset pemberian Tommy.

img_4936
gambar diambil dari sini

N

Penaku

Menulis, Berkarya, Berimajinasi

Satria Hamzah

A technium

Site Title

Pro Scientia Et Patria

Luculent Story

Clearly expressed oneself through my stories

Meet me - In my wor(l)ds

This is just a writing about simple ordinary life...

deelestari.com

where the sun comes out

Catatan-catatan yang Tercecer

ditelan pahit, dibuang sayang

Mitch's Journey

" No one can tell your story so tell it to yourself. No one can write your story so write it yourself "

Journey Bundle of Ruthflos

to believe in a dream

Gervasius Gowendi

Be Your Self~

Trishart

'Cause in You There's an Angel, an Angel Trapped by Fear

Pemimpin Cerita

“Some books leave us free and some books make us free.” — Ralph Waldo Emerson

Andreas Wahjoe

"wild tales"

The Essence of Grace

where the sun comes out

The Daily Post

The Art and Craft of Blogging